Pages

Tuesday, November 13, 2012

[BOOK REVIEW] BLOOD RED ROAD by MOIRA YOUNG

Cover Edisi Indonesia
Mereka menjulukinya Malaikat Kematian. Setiap kemunculannya membuat semua petarung lain bergidik ngeri, sementara penonton justru menyambut penuh gempita. Saba, sang Malaikat Kematian, tak pernah memedulikan apa pun dalam bertarung. Dia hanya berusaha tetap hidup. Demi menyelamatkan Lugh, kembarannya. Demi mencari sebuah penjelasan. 
Saba harus keluar dari tempat itu. Di tengah ketatnya penjagaan terhadap para petarung, nyaris tak ada celah terlihat. Saba tahu, dia hanya harus menunggu lebih sabar. Namun, apa artinya kesabaran di tengah desakan waktu yang kian menghimpit? Malam pertengahan musim panas sebentar lagi tiba. Terlambat sedikit saja, Lugh akan tewas demi memenuhi ambisi seorang penguasa gila.
Saba tidak sendiri. Ada Jack. Pemuda itu telah mencuri perhatiannya dengan janji akan menemani perjalanan mencari Lugh. Namun, akankah Saba percaya sepenuhnya ketika Jack pun memiliki alasan tersembunyi?

Lugh lahir lebih dulu, disusul Saba. Kembar 2 jam pada pertengahan musim dingin ketika matahari menggantung rendah di langit. Hidup bahagia dalam keluarga kecil mereka, Saba, Lugh, Pa dan Ma di Silverlake. 9 tahun kemudian, lahirlah Emmi, sebulan lebih cepat dan menyebabkan meninggalnya Ma. Kehidupan mereka tidak pernah sama sejak saat itu; Lugh dibawa pergi oleh Tonton, Pa meninggal, Silverlake ditelan badai debu, hanya satu yang ada dipikiran Saba, yaitu menyelamatkan Lugh.


Blood Red Road, buku pertama dari seri Dust Land ini menyuguhkan sedikit kisah yang berbeda dari kebanyakan buku Distopia pada umumnya. Blood Red Road lebih fokus kepada aksi petualangannya, bukan plot cerita seperti pemberontakan dan sebagainya. Siapa sangka? Dengan tujuan menyelamatkan saudara kembarnya, Saba harus melewati banyak rintangan yang menyulitkan.

FYI, Saba itu perempuan.

Kita bahas dulu positifnya ya, Saya bisa bayangkan Blood Red Road itu sebagai film aksi yang super duper menegangkan yang ga ngasih kesempatan buat kamu buat bernafas se.di.kit.pun! Action everywhere. fast-pace, so much heroine, this is a perfect action movie. Not to mention, sedikitnya novel yang saat ini beredar untuk mengambil plot aksi seintens ini.

Then there we goes, the negative part. Blood Red Road bukan film action. Mungkin ini semua karena penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa Indonesia (baru tau kalau memang penulis menggunakan bahasa Inggris yang gaul di penulisannya, tidak biasa), tetapi Saya kurang feeling this book. Kebanyakan buku memang selalu kurang menjelaskan tentang dunia apa buku itu diceritakan, siapa, bagaimana... tetapi kadang itu semua tidak terlalu penting. Berbeda dengan buku ini, banyak sekali tanda tanya yang tidak terjawab sampai Saya melahap paragraf terakhir buku ini.

Sinopsisnya pun tidak memberikan banyak bantuan. Karena scene yang diceritakan itu berada di tengah-tengah cerita, Saya jadi sedikit merasa ditipu. Sedikit. Scene saat Saba berada di Kerangkeng terlalu pendek dan terlalu monoton bagi Saya untuk ditampilkan sebagai introducer buku. 3 halaman pertama memuaskan Saya lebih dari sisa 499 halaman lainnya. Bahkan, sebagai buku anak-anak, Inkspell lebih menegangkan untuk Saya.

Banyak juga dialog yang seperti percakapan tugas bahasa Indonesia antar tokoh. Sekali lagi, mungkin ini semua cuma a matter of translation, tapi apa yang Saya tangkap malah.. jadi kaya dialog drama 17 agustusan. Terkadang ga harus semua tokoh menyatakan pendapatnya, seperti saat hanya untuk bilang 'Oke Aku setuju'. Dan Saya masih ga habis pikir dengan banyaknya part-part yang wasting time seperti saat Pemilu sebelum masuk danau C*******acing Neraka dan adegan ******** di dalam gua antara **** dan **** (I don't wanna spoils anything, guys!). Untungnya banyak aksi. Untung.

Saya juga kurang merasakan kehilangan saat beberapa tokoh pendamping 'dihilangkan'. Karena selain Saya tidak mengenal mereka, pengeksekusiannya juga tidak menarik dan tidak ngena (setidaknya buat Saya). Saya cuma bisa membayangkan kalau saat 2 tokoh di bagian terakhir itu bisa lebih epik. Apalagi yang melompat.. lebar demi apa :(( Apa perlu Saya bahas how ridiculously.. weird the way the writer writes about the King? lol i can't even~

Oh iya, tapi selain banyaknya kekecewaan yang Saya rasakan, ada lagi hal yang Saya suka disini. Tokoh. Well, sebenernya Saya sebel sama tokoh-tokoh disini. Semuanya terlalu gampang. Bukan gampangan, tapi.. ya itu tadi, seperti yang memecahkan masalah di drama agustusan. Tapi mungkin itu yang bikin Saya juga suka sama mereka. Saya hanyut dalam cara pikir tokohnya yang begitu kompleks.

Kita tengok saja tokoh utamanya, Saba. Dia keras kepala, egois, kasar, tidak peduli akan orang lain and goes on sifat buruknya. Saya sebel banget sama SABA! Tapi... dia itu heroine yang sempurna! Seperti Katniss di The Hunger Games, dia rebellious type, berani, kuat, pantang menyerah dan kickass ini bisa bikin kita ketar-ketir sama aksinya. Belum lagi, perubahan sikapnya terhadap sang adik yang dia benci, Emmi sepanjang buku bikin saya terenyuh. Emmi, gadis kecil yang DEMI APA MENYEBALKAN. Tapi dia cerdik, Saya akui itu. Belum juga Jack, Epona, Ash, Ike..... arrgggggh!

Pada akhirnya, pendapat Saya berbeda dengan kebanyakan reviewer yang puas dengan buku ini. Karena Saya sangat tidak puas dan merasa kecewa. Banyak sekali hal yang seharusnya bisa lebih menarik, jatuhnya flat. At the end of the book, Blood Red Road would be a kickass action movie. But not the book. Untuk saat ini.. Saya akan menyalahkan penerjemahannya yang kurang, walaupun the slang-english pasti menjadi faktor utama betapa tidak nikmatnya terjemahan yang Saya baca. Saya akan tunggu sekuelnya, Rebell Heart, untuk nge-judge selanjutnya. Seri ini bisa menjadi lebih baik, mungkin.

1.75/5

0 comments:

Post a Comment

 
 
Copyright © Play the Book
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com